NARASIKALBAR.COM, KALBAR – Rasanya bersalah bila saya tidak memperkenalkan emas hijau dari daerah sendiri. Nuan yang di luar Kalbar umumnya baru dengar daun Kratom. Inilah emas hijau yang sangat laris di luar negeri. Simak narasinya sambil seruput kopi dengan sedikit gula aren, wak!
Tanaman ini bisa membuat para ekonom kelas dunia tercengang. Hanya selembar daun bernama kratom, Mitragyna speciosa, yang tumbuh liar di Kapuas Hulu, kini menjelma menjadi “emas hijau” yang tak kalah berkilau dari emas di tambang Freeport. Bedanya, kalau emas bikin lubang raksasa, kratom justru membuat masyarakat tersenyum tanpa harus merusak hutan.
Kapuas Hulu yang dijuluki Heart of Borneo kini tercatat sebagai salah satu pusat ekspor kratom terbesar di Indonesia. Data terbaru mencatat, ekspor perdana pada 30 September 2025 di Pelabuhan Dwikora Pontianak melepas 343,5 ton kratom ke India senilai Rp15,4 miliar. Acara sakral itu bahkan dihadiri langsung Bupati Kapuas Hulu dan Ketua Komisi IV DPR RI. Jangan salah kira, itu bukan sekadar seremoni. Sejak Juni hingga September 2025, sudah 10 kali pengiriman dilakukan ke India, dengan total 2.625 ton. Angka ini membuat kratom naik pangkat, dari rumput liar jadi diplomat ekonomi.
Inilah ironi sekaligus keajaiban. Sekitar 40% masyarakat di wilayah tertentu Kapuas Hulu hidup dari kratom. Dari daun-daun itu, anak-anak mereka bersekolah, rumah direnovasi, tabungan keluarga tumbuh. Semua berawal dari pohon sederhana yang tak butuh pupuk, tak butuh pestisida, hanya butuh kesetiaan petani memetik dan menjemurnya. Lebih dari 45.833 hektare lahan tersebar di 150 desa, 13 kecamatan, menumbuhkan lebih dari 112 juta batang kratom. Tak kurang 46.751 kepala keluarga kini menggantungkan hidup pada tanaman ini.
Harga kratom pun melambung, Rp50.000–Rp100.000 per kilogram kering. Angka yang membuat banyak petani beralih dari karet dan sawit, karena hasil kratom lebih stabil. Desa-desa seperti Nanga Jemah, Semangut, dan Boyan Tanjung kini jadi pusat perputaran ekonomi baru. Bukankah ini ironi yang indah? Sawit yang katanya penyelamat malah membuat hutan hilang, sementara kratom yang dulu dianggap liar justru menjaga vegetasi tetap hijau.
Tentu, jalan kratom tidak selalu mulus. Regulasi masih berwarna abu-abu. Permendag No. 21/2024 dan No. 9/2025 memang sudah memberi payung hukum ekspor, meredakan keresahan soal status legal. Tapi sampai kini, kratom masih dicurigai. BPOM menyebutnya bahan berisiko tinggi bila dikonsumsi berlebihan. Sementara dunia Barat terbelah. Di Amerika Serikat sebagian negara bagian memujanya sebagai alternatif opioid, sementara Uni Eropa dan Australia memilih melarangnya.
Tantangan lain, pengolahan masih mentah. Petani hanya memanen dan mengeringkan, belum sampai tahap hilirisasi. Padahal, jika diolah menjadi teh, kapsul, atau ekstrak, nilainya bisa berlipat-lipat. Di sinilah letak satire pembangunan. Negara berkoar tentang industrialisasi, tapi rakyat Kapuas Hulu masih berkutat dengan tikar jemuran. Petani butuh dukungan laboratorium, uji mutu dari Balai POM, serta akses pelabuhan strategis seperti Kijing untuk memperluas pasar.
Namun jangan salah, Kapuas Hulu tetap berdiri gagah. Di panggung global, kratom Indonesia telah menembus berbagai negara: Amerika Serikat (66,3%), Jerman (8,3%), India (6,0%), Republik Ceko (5,3%), Jepang (3,8%), Belanda (2,8%), Tiongkok (2,4%), Korea Selatan (1,7%), Taiwan (0,8%), hingga Uni Emirat Arab (0,6%). Dunia boleh berdebat, tapi pasar tak bisa dibohongi.
Kratom adalah filsafat hidup Kapuas Hulu, sesuatu yang tumbuh di halaman rumah bisa lebih berharga dari proyek mercusuar. Ia adalah bukti bahwa inspirasi tidak perlu datang dari menara gading, cukup dari dedaunan yang dikeringkan di bawah matahari tropis. Dari Kapuas Hulu, Indonesia belajar, selama ada daun, harapan tidak akan gugur.
Foto Ai, hanya ilustrasi
camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar